Restoran 100 yen
Kalau bicara tentang shusi,shashimi,shabu-shabu pasti langsung teringat dengan Jepang.Bangsa Jepang terkenal sebagai penyantap ikan mentah sejak dahulu kala. Tapi sebenarnya bukan cuma ikan mentah saja yang jadi kegemaran mereka, tapi termasuk juga daging sapi, kuda, dan hampir semua tumbuhan dan hewan laut. Mereka sangatlah menikmati rasa asli dari bahan makanan segar itu sendiri, misalnya rasa manis dari udang atau telur ikan (ikura) dll. Sampai-sampai kami berkesimpulan, perbedaan lidah/selera orang Indonesia dan Jepang dari segi makanan ialah orang Indonesia akan mengatakan lezat atau enak bila masakan tersebut sudah diolah, rasa asli bahannya sudah tidak ketahuan lagi karena sudah ditutupi rempah – rempah. Sebaliknya orang Jepang akan langsung bilang osihisou…(sangat lezat nampaknya) ketika pertama kali melihat bahan mentahnya tanpa campuran apapun.
Walaupun makanan Jepang terkenal minimalis rasa akan tetapi sebenarnya sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Misalnya, karena masakan mereka sangat jarang menggunakan bahan yang mengandung lemak seperti misalnya minyak kelapa, santan dll. Mungkin ini salah satu rahasia panjang umur mereka.
Di dekat apartemen kami, ada restoran shuusi (shushi ya san ) favorit kami, tredmark-nya restoran 100 yen (hyaku en shushi). Selain harganya terjangkau, sepiring ada dua biji shushi dengan harga 100 yen. Bedanya shushi sama shasimi, kalau shushi dibawah ikan mentah yang di filet diberi nasi dan ditengahnya diberi sedikit wasabi (wasabi ini untuk antiseptic ,rasa pedasnya bisa sampai ke hidung dan katannya bagus untuk obat gejala flu). Sedangkan kalau shashimi hanya filet-an ikan mentah. Seperti yang saya sebutkan diatas, bahan shushi bukan cuma ikan tapi bisa juga daging sapi,kuda,gurita(tako),cumi (ika) ,udang, dsb.
Tentu mereka sangat menjaga kebersihan dan kwalitas bahan, misalkan shushi yang tidak laku, ikan dan nasinya di pisah, ikan nya akan di goreng tempura dan kemudian di jual lagi. Masakan ini seringnya malah kami tunggu karena cocok dengan lidah kita yang manja dengan bumbu.
Seperti biasanya, pelayan restoran dalam menyambut pelanggan yang datang berkunjung akan berteriak serempak mulai dari kasir samapi semua koki di dapur “irasshaimase” (selamat datang) dan ketika pulang mereka pun berteriak serempak lagi “Arigatou Gozaimashita” sambil semua membungkuk sampai kami merasa tak enak bagai raja saja hehehehehe. Biasanya, setiap kali kesana kami rutin memesan makanan yang tetap disesuaikan dengan selera lidah Indonesia, sampai pelayan restoran tersebut hafal akan jenis dan jumlah yang kami pesanan, selalu berupa menu ebi ten udong (semacam mie pangsit tanpa bumbu, bumbunya hanya kaldu teri ), ebi furai maki (udang goreng tempura di bungkus pakai nori/rumput laut), ebi shusi dan tentu saja ikan tempura dari sisa ikan yang sudah tidak fresh. Menu yang kami pesan tersebut tentu saja semuanya sudah diproses, jadi tidak mentah karena sudah di rebus atau dibakar. Sesekali saja untuk challenge kami ambil dari conveyer salmon, tuna atau cumi shuusi, yang rasanya tidak terlalu amis. Di rumah makan ini juga tersedia teh hijau hangat racik sendiri yang dapat diminum sepuasnya (nomihodai).
Saat ini banyak makanan dan restoran Jepang yang telah Go Internasional, disukai banyak orang diberbagai tempat di penjuru dunia. Tapi disisi lain ada beberapa orang yang masih belum terbiasa dengan hidangan tradisional khas Jepang, termasuk mungkin juga sebagian generasi muda mereka yang terbiasa dimanja dengan derasnya berbagai sajian dari manca Negara. Selain juga banyak masakan sehari-hari mereka yang sudah terpengaruh bumbu dan resep dari Cina, Amerika, dan juga Eropa.
Walaupun makanan Jepang terkenal minimalis rasa akan tetapi sebenarnya sangat bagus untuk kesehatan tubuh. Misalnya, karena masakan mereka sangat jarang menggunakan bahan yang mengandung lemak seperti misalnya minyak kelapa, santan dll. Mungkin ini salah satu rahasia panjang umur mereka.
Di dekat apartemen kami, ada restoran shuusi (shushi ya san ) favorit kami, tredmark-nya restoran 100 yen (hyaku en shushi). Selain harganya terjangkau, sepiring ada dua biji shushi dengan harga 100 yen. Bedanya shushi sama shasimi, kalau shushi dibawah ikan mentah yang di filet diberi nasi dan ditengahnya diberi sedikit wasabi (wasabi ini untuk antiseptic ,rasa pedasnya bisa sampai ke hidung dan katannya bagus untuk obat gejala flu). Sedangkan kalau shashimi hanya filet-an ikan mentah. Seperti yang saya sebutkan diatas, bahan shushi bukan cuma ikan tapi bisa juga daging sapi,kuda,gurita(tako),cumi (ika) ,udang, dsb.
Tentu mereka sangat menjaga kebersihan dan kwalitas bahan, misalkan shushi yang tidak laku, ikan dan nasinya di pisah, ikan nya akan di goreng tempura dan kemudian di jual lagi. Masakan ini seringnya malah kami tunggu karena cocok dengan lidah kita yang manja dengan bumbu.
Seperti biasanya, pelayan restoran dalam menyambut pelanggan yang datang berkunjung akan berteriak serempak mulai dari kasir samapi semua koki di dapur “irasshaimase” (selamat datang) dan ketika pulang mereka pun berteriak serempak lagi “Arigatou Gozaimashita” sambil semua membungkuk sampai kami merasa tak enak bagai raja saja hehehehehe. Biasanya, setiap kali kesana kami rutin memesan makanan yang tetap disesuaikan dengan selera lidah Indonesia, sampai pelayan restoran tersebut hafal akan jenis dan jumlah yang kami pesanan, selalu berupa menu ebi ten udong (semacam mie pangsit tanpa bumbu, bumbunya hanya kaldu teri ), ebi furai maki (udang goreng tempura di bungkus pakai nori/rumput laut), ebi shusi dan tentu saja ikan tempura dari sisa ikan yang sudah tidak fresh. Menu yang kami pesan tersebut tentu saja semuanya sudah diproses, jadi tidak mentah karena sudah di rebus atau dibakar. Sesekali saja untuk challenge kami ambil dari conveyer salmon, tuna atau cumi shuusi, yang rasanya tidak terlalu amis. Di rumah makan ini juga tersedia teh hijau hangat racik sendiri yang dapat diminum sepuasnya (nomihodai).
Saat ini banyak makanan dan restoran Jepang yang telah Go Internasional, disukai banyak orang diberbagai tempat di penjuru dunia. Tapi disisi lain ada beberapa orang yang masih belum terbiasa dengan hidangan tradisional khas Jepang, termasuk mungkin juga sebagian generasi muda mereka yang terbiasa dimanja dengan derasnya berbagai sajian dari manca Negara. Selain juga banyak masakan sehari-hari mereka yang sudah terpengaruh bumbu dan resep dari Cina, Amerika, dan juga Eropa.
Comments
*)In
familiedyka.blogsome.com
jadi laper... :D
intan
baru tau kalow wasabi bagus buat pencegah flu.. kita sekeluarga (minus deeja tentunyah) penggemar wasabi looh.. pokonya tiap ke resto sushi pasti langsunga mbil wasabi... wiken kmaren ke sono, ntar wiken ini mo maem sushi lagi :D
Salam kenal mbak Ulfa :-D